Places and Events

Cerita dari Bima

Awalnya,  seorang kawan blogger yang asli orang Bima mengajak saya untuk berkunjung ke Bima untuk menghadiri even Festival Sangiang Api 2015.  Berhubung saya belum pernah menginjakan kaki ke Bima,  tawaran itu pun saya terima.

Sebenarnya Festival Sangiang Api 2015 sendiri berlangsung dari tanggal 1-9 Agustus.  Namun demikian, karena berbagai hal  saya hanya bisa di tanah Bima hanya 3 hari saja, itupun tidak penuh.  Jadi tidak sempat melihat secara full bagaimana festival berlangsung.

Tanggal 1 Agustus saya bertolak dari Jakarta, keberangkatan pagi itu cukup dengan maskapai singa.  Oleh karena tidak ada keberangkatan langsung ke Bima, jadi saya harus transit dulu di Bali.  Ongkosnya cukup lumayan,  tapi ada untungnya juga jadi  tukang tiket dan telah cukup lama untuk mem-booking tiket menuju Bima, sehingga bila dibandingkan dengan teman-teman yang lain, tiket saya cukup terjangkau hihihi… (ini apaan sih modus banget promosi! :P).

Waktu di Bali ternyata ganti pesawat dengan pesawat baling-baling.  Saya agak takut-takut gitu. Soalnya ini pertama kalinya saya naik pesawat baling-baling.  Pesawatnya cilik bener, terus bagasi kabin juga kecil, ransel saya sempat gak bisa masuk.  Jarak antar penumpang juga pendek-pendek.  Trus pas mau landing atau take off kok kerasa seperti bunyi gredek-gredek gitu, takut jatoh aja sayanya (hahaa…ini sih perasaan saya aja kali :D).  Alhamdulillah aman-aman saja.  Kata orang yang biasa naik pesawat baling, itu cuma perasaan norak berlebihan saya aja.

Hari telah beranjak siang sesampainya menuju Bandara sultan Salahuddin Bima, saya dijemput oleh teman-teman dari Makembo (Majelis Kesenian Mbojo), diantaranya adalah Bapak Alan Malingi sebagai ketua komunitas tersebut. Makembo adalah sebuah komunitas yang  concern terhadap budaya dan sastra Bima.  Mbojo sendiri adalah suku (orang) yang mendiami Kabupaten Bima dan Kota Bima.

DSCN0265

Sampai di base camp, ternyata sudah ada beberapa blogger dan teman-teman dari Makembo.  Karena ada beberapa orang yang tidak saya kenal, kami pun saling berkenalan satu sama lain.  Teman-teman Makembo pun juga menjamu dengan sangat baik sekali.

Setelah beristirahat sebentar, acara hari itu dilanjutkan dengan City TourCity tour saat itu mengunjungi   Museum Asi Mbojo, Pantai Ule, keliling kota tua Raba dan diakhiri dengan melihat terbenamnya matahari di Dana Taraha.

Museum Asi Mbojo dulunya adalah sebuah istana yang dibangun pada tahun 1927. Istana ini merupakan tempat tinggal Sultan sekaligus merupakan pusat pemerintahan  dari Kesultanan Bima.  Museum terletak di Kota Bima berdekatan dengan alun-alun Kota Bima.

 

Museum memiliki dua lantai.  Dahulu  lantai satu sebagai pusat pemerintahan, sementara lantai dua sebagai tempat tinggal Sultan dan keluarganya.  Saat ini, setelah menjadi museum,  pada lantai satu museum ada galeri dari peninggalan benda-benda bersejarah kesultanan Bima, seperti berbagai senjata (keris, pedang, parang, tombak, senapan), alat-alat rumah tangga, foto para sultan, serta baju-baju adat pada zaman kesultanan.

Sementara itu, di lantai kedua ada kamar perisitirahatan Sultan beserta anak-anaknya, serta ruang kerja Sultan.  Beberapa perkakas seperti lemari, tempat tidur, dan foto-foto juga masih terawat dengan baik.  Bahkan, seprai yang dijahit oleh anak-anak Sultan masih membungkus kasur di atas dipan.

Collage220192158

Untuk masuk ke dalam Istana Bima Asi Mbojo ini, wisatawan dikenakan biaya masuk.  Jangan khawatir, biaya masuk sangat terjangkau, yaitu hanya sebesar Rp 2.000 untuk dewasa, Rp 500 untuk anak-anak dan Rp 1.000 untuk pelajar dan mahasiswa.  Sangat murah bukan?

Setelah dari Museum Asi Mbojo, kami menuju pantai Ule.  Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandahan yang sangat luar biasa, indah sekali. Birunya lautan dengan ombak bergulung serta perahu yang hilir mudik menambah kesan cantik lukisan alam ini (ihiyy).  Di sana kami disuguhi makanan khas Bima ikan bakar serta sambal yang nikmat.

pantai ule

DSCN0264

Perjalanan kemudian dilanjutkan menuju pacuan kuda yang berada di Desa Panda.  Sungguh unik pacuan ini karena para jokinya adalah anak-anak yang tergolong masih kecil.  Even ini adalah bagian dari tradisi masyarakat Bima.  Cerita tentang pacuan kuda lebih lengkapnya sudah saya tulis, di baca juga ya :).

Baca : Pacuan Kuda dan Joki Cilik di Tanah Bima

jokicilik

Setelah puas melihat para joki berjibaku di arena, perjalanan kembali dilanjutkan.  Kali ini kami ke kota tua Raba. Di kota tua Raba kami melihat salah satu bangunan peninggalan zaman Belanda. Ada taman cantik di sekitar bangunan, kami pun duduk di sana.  Saat itu kami saling berkenalan satu sama lain antara blogger, penulis serta beberapa anggota Makembo.  Hadir pula di sana Om Alan Guteres, anak Bima yang concern terhadap pendidikan.  Beliau telah membuat sekolah gratis untuk anak-anak yang tidak mampu.  Atas usahanya bahkan beliau pernah menjadi Kick Andi Heroes pada tahun 2015.

Menjelang sore hari kami ke Dana Taraha.  Dana Taraha adalah sebuah bukit yang terdapat  kompleks makam keluarga Sultan Bima.  Jauh dari kesan pemakaman yang seram, menjelang sore hari Dana Taraha dikunjungi banyak orang.  Mungkin karena posisinya di bukit, sehingga pemandangan dari atas bukit jadi salah satu view yang menarik perhatian.   Pemakaman pun bersih dan terawat.  Saat matahari terbenam kami pun kembali ke base camp.

Kotatua Raba

Hari kedua kami menuju Sangiang Wera. Di tengah perjalanan kami berhenti sebentar untuk melihat Sekolah Darul Ulum, sekolah yang didirikan oleh Om Alan Guteres.  Sekolah gratis yang menumbuhkan harapan anak-anak Bima yang tidak mampu menggapai cita-citanya.

Perjalanan pun lanjut ke Desa Sangiang Wera. Ternyata cukup jauh juga antara Kota Bima dan Wera. Sepanjang perjalanan banyak jalan berliku.   Dekat desa ini gunung Sangiang Api kokoh berdiri.  Apabila ingin ke masuk atau mendaki gunung, kita harus melalui jalur laut.  Sehingga kita tidak bisa serta merta langsung menuju sana.

Sampai di Wera kebetulan ada aktivitas membuat kue tradisional, kalempe.  Kalempe adalah kue yang berasal dari tepung beras dan gula merah.  Kue ini bagi saya mirip kue cucur.  Masyarakat Wera sendiri masih kental dengan tradisi.  Mereka banyak yang menggenakan rimpu, semacam sarung yang dililit di kepala sebagai jilbab atau kerudung.  Sementara pekerjaan masyarakat ada yang menjadi nelayan, penenun, bahkan pembuat kapal.

rimpu-kalempe

Hari menjelang sore, setelah berunding dengan teman-teman, kami memutuskan kembali ke Kota Bima dengan  diantar oleh Om Alan Guteres.  Malam itu kamipun bermalam di rumahnya.

Keesokan harinya saya sudah bersiap untuk kembali ke Jakarta sementara  teman-teman yang lain ada yang melanjutkan ke Labuan Bajo dan ada yang ke Lombok.  Masih ada sisa waktu sedikit saya gunakan untuk ke Sambori.  Senang bisa berada di Bima meskipun ada hal yang tidak sesuai rencana.  Terimakasih kepada anggota Makembo dan masyarakat Wera yang sudah berbaik hati.  Begitu pula dengan kebaikan hati Om Alan Guteres dan keluarga.

Begitu cerita saya dari Bima.  Selanjutnya akan saya ceritakan Cantiknya Tanah Bima di posting-an berikutnya.

Related Posts

1 Comment

  • Reply
    lia
    June 2, 2016 at 15:04

    Saya tertarik dengan tulisan anda mengenai sastra. Sastra merupakan sesuatu yang penting yang harus diajarkan bagi pelajar Indonesia. Saya memiliki beberapa pembahasan sastra yang bisa anda kunjungi di http://www.lepsab.gunadarma.ac.id

  • Leave a Reply